Cara makan kue menjadi urusan penting manakala kuenya sebesar cadangan minyak yang dimiliki oleh suatu negara. Cara makan kue ini tiba-tiba menjadi pelik manakala sudah disadari bahwa sesungguhnya kue tadi adalah milik seluruh generasi, bukan hanya milik generasi sekarang.
Dengan demikian masalah makan kue di dalam ilmu ekonomi berada di bawah topik intertemporal choice. Persoalannya, akan dicari dan diputuskan seberapa besar kue yang akan dimakan oleh generasi sekarang dan seberapa besar kue yang akan dimakan oleh generasi-generasi yang akan datang. Kriteria pembagian kuenya adalah bahwa semua generasi menjadi sejahtera dengan memakan kuenya masing-masing secara optimal. Tidak ada generasi yang dirugikan.
Bagaimana cara Indonesia memakan kuenya?
Di Indonesia kue diperlakukan seperti milik generasi sekarang saja. Akibatnya, kue yang sudah terhidang akan habis seketika dimakan oleh generasi sekarang. Sekali kue sudah tersaji, tidak akan tersisa untuk generasi-generasi yang akan datang.
Bagaimana cara melihatnya?
Setiap kali kue (minyak, gas dll.) terhidang, kue tersebut akan langsung dimasukkan ke dalam APBN. Dana APBN harus dihabiskan pada tahun anggaran itu pula. Entah dengan cara apapun untuk menghabiskannya. Yang penting kue harus habis dimakan sekarang. Semakin cepat suatu lembaga memakan kuenya, semakin dipuji ia sebagai lembaga yang baik karena sanggup menyerap anggaran dengan cepat.
Lebih hebat lagi manakala generasi sekarang diberi insentif untuk terburu-buru menghabiskan kuenya. Insentifnya berupa subsidi BBM. Insentif ini seolah bilang: ‘Ayo cepat-cepat saja habiskan kuenya sekarang juga’. Maka akan semakin cepat habis kue yang terhidang untuk dimakan oleh generasi sekarang saja.
Jatah kue buat cucu-cicit kita yang belum lahir pun sudah buru-buru kita makan sekarang juga. Cucu kita mungkin hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan kerakusan kakek-neneknya. Sementara piring mereka tetap kosong, tak tersisa lagi jatah kue untuk dimakan mereka.
Masalah menjadi semakin runyam manakala nilai subsidi BBM ternyata lebih besar dari pendapatan pemerintah yang diperoleh dari minyak. Bila ini yang telah terjadi, malah kita sebetulnya berada di posisi sedang hutang kue. Jadi kelak di piring cucu kita tidak akan ditemui jatah kue mereka dan malahan mereka harus menanggung beban hutang yang diperbuat oleh kerakusan kakek-neneknya. Apakah kita telah berlaku adil terhadap anak-cucu-cicit kita sendiri?
Adakah alternatif lain cara makan kue?
Mungkin ada. Kebetulan saja yang akan dijadikan ilustrasi adalah negara Timor-Leste. Penghasilan Timor-Leste dari minyak tidak langsung masuk APBN. Penghasilan tersebut ditaruh dulu di Petroleum Fund. Ini merupakan sebuah lembaga yang akan mengelola kekayaan negara yang berasal dari minyak (Timor-Leste’s Sovereign Wealth Fund). Sampai bulan Juli 2013 dana ini terkumpul sebesar US$14 milyar.
Pemerintah Timor-Leste baru pertama kali menggunakan dana ini pada bulan Juli 2013 dan besarnya hanya US$180 juta, ini sekitar 1.3% saja dari US$14 milyar tadi. Bila langkah serupa ini bisa terus dipertahankan, ini tentu langkah yang sangat bijaksana. Itu artinya pemerintah Timor-Leste sangat mempertimbangkan pengelolaan kue untuk generasi-generasi yang akan datang. Kue tidak cepat-cepat dihabiskan oleh generasi sekarang saja. Ini masalah sustainability, tidak lagi sekedar optimality.
Informasi tentang hal ini bisa dilihat pada halaman 128-129 dari referensi berikut:
http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/region/eap-update-october-2013.pdf.
Lebih hebat lagi, tidak ada subsidi BBM di Timor-Leste. Bensin dijual dengan harga US$1.4. (seiktar Rp15.000,-) per liter. Andaikan pemerintah Timor-Leste memberikan subsidi BBM untuk masyarakatnya, tentulah dana subsidinya akan diambilkan dari Petroleum Fund. Bila hal itu terjadi, maka pemerintah Timor-Leste akan dinilai sangat tega mengambil jatah milik generasi yang akan datang untuk diberikan kepada generasi sekarang. Untunglah pada kenyataannya hal itu tidak terjadi (atau belum terjadi?).
Persoalan yang pelik sejenis ini memang selayaknya ditangani dengan hati-hati. Salah satu bentuk kehati-hatian bisa terungkap bila persoalan tersebut diformulasikan dan dipecahkan dulu dengan model matematika. Dari model ini, kelak bisa diketahui seberapa besar jatah kue untuk generasi sekarang dan seberapa besar jatah kue untuk generasi-generasi yang akan datang.
Alat yang paling cocok untuk ini adalah dynamic programming karena persoalan makan kue termasuk ke dalam permasalahan optimasi antar generasi (intertemporal optimization). Cake-Eating Problemmemang biasanya akan dijadikan alat peraga bagi kuliah tersebut. Memang sesungguhnyalah dynamic programming merupakan alat utama bagi seseorang yang ingin belajar advance macroeconomics di program studi S3 ilmu ekonomi.
Bagi yang berminat bisa melihat paper karya Partha Dasgupta dan Geoffrey Heal yang berjudul The Optimal Depletion of Exhaustible Resources di The Review of Economic Studies, Vol. 41, 1974. Ini model matematika di perioda awal dalam membahas tentang Cake-Eating Problem yang diimplementasikan untuk masalah pengalokasian natural resources, terutama yang non-renewable. Bila anda cukup beruntung, paper ini bisa diunduh di internet.
Semoga bermanfaat.
Salam dari Bandung.